Ndableknya Masyarakat.
Masyarakat bersifat dablek mungkin sudah
menjadi kelaziman. Akan menjadi tidak lazin bila dableknya secara berjamah.
Semua kompak berlaku dablek, tidak mau mengikuti ketentuan, malah merasa bangga
ketika melakukan perbuatan salah atau dosa. Masyarakat juga bisa dikatakan
dablek ketika harus memenuhi kewajibannya sebagai warga negara namun tidak ia
patuhi seperti antara lain: tidak patuh membayar pajak, tidak patuh mengikuti
aturan negara dan agama maupun tidak patuh dalam berkehidupan sosial.
-Tidak patuh membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB)
Bagi orang yang memiliki kekayaan lahan
berupa tanah, sawah atau kebun, wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Kewajiban tersebut sebagai konsekwensi kepemilikannya dan memberi kontribusi
guna pembangunan Nasional. Sayangnya sering ada orang yang secara dablek tidak
mau memenuhi kewajiban itu. Ia beralasan karena tanah itu adalah miliknya
sendiri dan Pemerintah tidak ada kontribusi langsung dalam meningkatkan
kemanfaatan tanahnya. Ia tidak sadar bahwa Pemerintah butuh dana untuk
Pembangunan dan bila Pembangunan dapat berjalan dengan baik, maka harga tanah
yang ia miliki akan meningkat juga. Pemerintah juga memberikan proteksi
terhadap kepemilikan tanahnya melalui instansi yang ditunjuk Pemerintah seperti
Badan Pertanahan dalam bentuk penerbitan sertifikat.
Sayangnya virus dablek ini menjalar dan
acap kali yang paling parah para masyarakat mampu yang tahu hukum namun tidak
sadar hukum sehingga dijadikan acuan bagi masyarakat lainnya.
Di mata orang yang dablek karena tidak
mau membayar PBB , ia memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin Pemerintah menyita
tanahnya gara-gara pemiliknya tidak mau membayar PBB. Tetapi ia juga tidak
sadar bahwa Pemerintah lewat aparat desa berwenang memberikan pembinaan dan
tidak memberikan surat pengantar kepada warganya yang dablek.
Bila masyarakat yang dablek tidak mau
membayar PBB dibiarkan, maka kemungkinan besar akan menjalar dan banyak yang
tidak mau membayar PBB.
- Tidak Patuh mengikuti Aturan Negara
maupun Agama
Urusan mentaati aturan agama adalah
tanggung jawab pribadi dengan Tuhannya, namun untuk mengikuti dan patuh kepada
aturan negara adalah tanggung jawab bersama. Kita bisa melihat sejauh mana tanggung
jawab seseorang terhadap agama maupun negara adalah berdasarkan perilakunya
sehari-hari.
Bagi orang yang dablek karena tidak mau
melaksanakan kewajibannya beribadah, maka akan dihukum oleh masyarakat berupa cemoohan.
Cemoohan dari masyarakat mungkin tidak langsung sifatnya, namun masyarakat akan
mengucilkannya dan tidak mau memberi kesempatan atau mendudukkan dirinya di
posisi terdepan ketika ada event
agama. Namun masyarakat sendiri kemudian enggan memberikan sangksi secara fulgar karena Tuhan sudah berfirman dalam kitab suci bahwa urusan
agama adalah lakum dinukum waliyadin,
bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Karena masing-masing saling membiarkan,
maka dablek dalam melaksanakan agama menjadi meraja lela. Contohnya orang
dengan santai pergi memancing ke tambak atau sungai padahal saat itu waktunya
sholat Jumat. Pentas musik tidak mau berhenti padahal Azan sudah
dikumandangkan. Warung makan tetap buka sekalipun bulan puasa. Memang dablek
mulai ada di mana-mana
Dalam hal menepati aturan negara
masyarakat juga mulai berani dablek. Ketika ada ketentuan bahwa bantaran sungai
tidak boleh didirikan bangunan permanen, mereka malah sengaja membuatnya dengan
pemikiran bila ada penggusuran minta ganti untung. Dari petugas yang memiliki
kewenangan untuk menegur juga diam saja. Mungkin karena ada rasa sungkan, namun
ketika terjadi bencana akibat dari ulah segelintir orang yang mengakibatkan
bencana bagi masyarkaat banyak, maka yang ada saling menyalahkan.
Pemerintah sebenarnya sudah dengan
persuasif dan preventip mengatasi masalah terutama dalam hal mendirikan
bangunan. Misalnya membuat papan peringatan atau melalui sosialisasi, tetapi
karena jangkanya terlalu panjang dan tidak ada ketegasan dalam menegakkan
ketentuan akibatnya tulisan tinggal tulisan dn sosialisasi hanya formalitas
belaka. Dablek tetap ada di mana mana.
- Tidak patuh dalam Berkehidupan Sosial.
Dalam berkehidupan sosial khususnya
untuk kerukunan masyarakat ada yang namanya rapat selapanan atau rapat RT dn RW.
Dalam kegiatan tersebut semua warga boleh berpendapat. Pendapatnya bisa
merupakan saran, pendapat atau kritik dan saran. Namun seringkali kesempatan
tersebut tidak digunakan dengan baik. Warga masyarakat hanya diam ketika
dipertemukan, namun akan mengadakan gerakan menggalang group penentang atau boykot bila ada suatu masalah yang
melanggar haknya.
Padahal untuk memecahkan masalah
tersebut sudah difasilitasi dalam rapat warga agar ditemukan titik temu guna
penyelesaian secara win win solution.
Yang terjadi masyarakat dablek tidak mau datang atau tidak mau bicara dan hanya
menebar isu sekenanya. Bila sudah terjadi hal seperti ini maka Pengurus RT atau
RW menjadi pusing. “Sulit mengurus orang dablek,” katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar